SURABAYA | JWI – Kota Surabaya kini memiliki ikon baru. Sebuah monumen berbentuk Ayam Jago berdiri megah di Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, sebagai penanda sejarah perjuangan tokoh legendaris Joko Berek atau Raden Sawunggaling.
Camat Lakarsantri, Yongky Kuspriyanto Wibowo, menjelaskan monumen ini menjadi simbol awal mula berdirinya Kota Surabaya. Menurut cerita turun-temurun, Joko Berek merupakan putra Adipati Jayengrono, penguasa Kadipaten Surabaya pada masa lalu.
Dalam kisahnya, Joko Berek yang tinggal bersama ibunya, Biyung Dewi Sangkrah, gemar memelihara ayam jago. Saat mencari jati dirinya, ia berbekal sehelai selendang kuning dari sang ibu dan bertolak ke Kadipaten Surabaya. Di sana, ia menghadapi tantangan dari saudara tirinya, Sawungrana dan Sawungsari, melalui adu ayam dan memanah. Berkat ketangkasannya, Joko Berek berhasil menang dan diakui sebagai anak Jayengrono.
Namun perjuangan belum usai. Untuk dapat tinggal di Kadipaten, Jayengrono meminta Joko Berek membabat hutan Wonokromo, yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Surabaya. “Kenapa simbolnya ayam? Karena saat mencari ayahnya, Joko Berek selalu membawa ayam jago yang selalu menang saat diadu,” jelas Yongky melalui rilis humas Pemkot Surabaya, Rabu (10/9/2025).
Monumen setinggi 7 meter itu dibangun di Jalan Raya Menganti, Lidah Wetan, tak jauh dari makam Raden Sawunggaling. Lokasi tersebut dipilih agar memudahkan masyarakat mengenal sekaligus menandai situs sejarah.
Pembangunan monumen merupakan aspirasi warga Lidah Wetan sejak 2023 yang langsung disampaikan kepada Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Warga berharap keberadaan monumen dapat menghidupkan wisata sejarah dan religi di kawasan Surabaya Barat.
“Harapannya, infrastruktur penunjang seperti taman dan tempat parkir bisa segera dibenahi. Saya tidak menyangka hasilnya sebagus ini. Antusiasme warga luar biasa,” kata Yongky.
Ketua LPMK Lidah Wetan, M. Andi Bocor, menambahkan monumen serupa pernah ada di era kolonial Belanda, namun kemudian hilang. Karena itu, warga menggelar napak tilas ke Balai Kota untuk meminta monumen tersebut dibangun kembali.
Monumen karya seniman lokal Surabaya itu dikerjakan dalam waktu sekitar 2–3 minggu. “Kami berharap monumen ini dapat mendongkrak wisata seni budaya tradisional dan sekaligus menjadi sarana edukasi bagi anak-anak,” ujar Andi.
Menurutnya, keberadaan monumen yang berdekatan dengan makam Joko Berek juga bisa memperkuat wisata religi berbasis kearifan lokal. “Sejarah dan tradisi masyarakat jangan hanya jadi cerita, tapi diwariskan melalui simbol nyata seperti ini,” pungkasnya.(*)