SIDOARJO | JWI – Polemik rencana pembukaan akses jalan integrasi antara Perumahan Mutiara City dan Perumahan Mutiara Regency kian memanas. Sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo yang tetap bersikeras membongkar tembok pembatas Mutiara Regency dinilai sepihak dan memicu dugaan adanya praktik “masuk angin” dalam proses pengambilan kebijakan.
Mediasi yang digelar di Kantor Sekretariat Daerah (Sekda) Sidoarjo beberapa waktu lalu pun gagal menghasilkan kesepakatan. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Bupati Subandi itu justru menuai sorotan karena dinilai mengabaikan paparan hukum yang disampaikan kuasa hukum warga Mutiara Regency. Senin (22/12/2025).
Kuasa hukum warga Mutiara Regency, Urip Prayitno, SH, MH, secara terbuka menyatakan kekecewaannya atas sikap Pemkab Sidoarjo yang dinilainya telah mengunci keputusan sejak awal.
“Paparan hukum sudah kami sampaikan secara jelas dan lengkap. Namun sama sekali tidak dipertimbangkan. Keputusan pembongkaran terkesan sudah ditetapkan bahkan sebelum mediasi berlangsung,” tegas Urip.
Menurutnya, sikap keras Pemkab tersebut tidak mencerminkan keberpihakan kepada warga yang telah menempati kawasan Mutiara Regency secara sah, melainkan justru memunculkan dugaan adanya kepentingan lain di balik kebijakan pembongkaran tembok pembatas.
Dugaan adanya praktik “masuk angin” dari pihak pengembang pun kian ramai diperbincangkan di kalangan warga.
Urip menegaskan, dalam dokumen Analisis Dampak Lalu Lintas (Amdal Lalin), secara eksplisit disebutkan bahwa akses Perumahan Mutiara City menggunakan Jalan Jati Selatan atau jalur di sekitar Balai Desa Banjarbendo, bukan melalui kawasan Perumahan Mutiara Regency.
“Dalam Amdal Lalin sangat jelas. Tidak ada satu pun klausul yang menyebutkan akses melalui Mutiara Regency,” ujarnya.
Pernyataan tersebut, lanjut Urip, juga diperkuat dalam site plan resmi Mutiara City yang sama sekali tidak mencantumkan adanya jalan tembus atau keterkaitan akses dengan Perumahan Mutiara Regency.
“Ini membuktikan bahwa sejak awal tidak pernah ada perencanaan jalan integrasi. Persoalan ini muncul karena janji sepihak pengembang Mutiara City kepada konsumennya, yang faktanya tidak memiliki dasar dalam dokumen perizinan,” tambahnya.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum Perumahan Mutiara Regency, Sigit Imam Basuki, S.T., mengungkapkan fakta lain yang dinilainya semakin memperkuat dugaan adanya pengondisian dalam polemik tersebut.
“Kami bahkan pernah didatangi utusan yang mengatasnamakan kepala desa dan menanyakan ‘minta berapa’. Tawaran itu kami tolak mentah-mentah. Sikap kami jelas, kami hanya meminta satu hal: pagar tembok pembatas yang dibangun oleh pengembang Mutiara Regency jangan dibongkar,” ungkap Sigit.
Ia menegaskan, jika pembongkaran tetap dipaksakan, pihaknya siap menempuh jalur hukum secara serius.
“Dengan kekukuhan Bupati mengeluarkan keputusan pembongkaran pagar pembatas dan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, kami menduga kuat telah terjadi pengondisian oleh pengembang Mutiara City. Dugaan ‘masuk angin’ itu tidak bisa dihindari,” tegasnya.
Meski mengakui bahwa Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) telah diserahkan kepada Pemkab Sidoarjo, tim kuasa hukum Mutiara Regency menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam mengelola PSU tetap dibatasi oleh koridor hukum yang berlaku.
“Pemkab memang memiliki hak pengelolaan PSU, tetapi tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Setiap kebijakan harus berbasis aturan hukum yang sah, bukan sekadar kehendak atau tekanan pihak tertentu,” tandas Urip.
Hingga berita ini diturunkan, Pemkab Sidoarjo maupun pihak pengembang Mutiara City belum memberikan klarifikasi resmi terkait dasar hukum pembongkaran tembok pembatas tersebut, termasuk menanggapi dugaan adanya kepentingan atau pengondisian dalam pengambilan keputusan.(Tim)





















