SIDOARJO | JWI – Penurunan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sidoarjo tahun 2026 menjadi sorotan publik. Dari sebelumnya tercatat sebesar Rp5,947 triliun pada tahun 2025, APBD terbaru tersisa sekitar Rp5,7 triliun, atau terjadi penyusutan hampir Rp200 miliar. Angka sebesar itu dinilai bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan sinyal serius yang harus dibuka terang kepada masyarakat.
Ketua Umum Lembaga Pemantau Korupsi Indonesia, Java Corruption Watch (JCW), Sigit Imam Basuki, S.T., menilai penurunan tersebut tidak boleh dianggap sebagai hal biasa tanpa penjelasan yang komprehensif dari pemerintah daerah. Bahkan, ia menegaskan ada kewajiban transparansi penuh agar publik memahami apa yang menyebabkan turunnya postur anggaran.Rabu, (26/11/2025).
“Rp200 miliar bukan angka kecil. Itu bisa untuk membangun 40 ruang kelas baru, merenovasi 20 fasilitas kesehatan, atau ribuan program bantuan sosial untuk masyarakat kecil. Publik berhak mengetahui ke mana anggaran sebesar ini bergeser atau hilang,” ujar Sigit Imam Basuki.
Menurut Ketum JCW, pemerintah bisa saja menyebut penurunan anggaran sebagai bentuk efisiensi. Namun efisiensi seharusnya menyasar belanja seremonial, perjalanan dinas, serta alokasi honorarium yang tidak produktif. Apabila pemangkasan justru terjadi pada sektor fundamental seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, maka hal tersebut patut dipertanyakan.
“Efisiensi yang memakan ratusan miliar bukan efisiensi, itu alarm. Jika pergeseran terjadi pada pos kebutuhan dasar masyarakat, maka itu bukan perbaikan anggaran, melainkan potensi kerugian bagi publik,” tambahnya.
Java Corruption Watch menegaskan bahwa APBD merupakan dokumen publik yang wajib dibuka secara transparan sesuai amanat undang-undang. Karena itu, JCW meminta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menyajikan data terbuka terkait: Tabel perbandingan APBD 2025–2026. Pos belanja yang mengalami penurunan signifikan.
Program yang dihapus atau dipindahkan alokasi anggarannya.
Proyek konstruksi atau pengadaan yang dipangkas. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang gagal tercapai.
Menurut Sigit, turunnya APBD juga bisa berkaitan dengan indikasi menurunnya kinerja OPD, lemahnya pengawasan internal, bahkan tidak menutup kemungkinan munculnya kebocoran anggaran yang tidak tertangani.
“Jika terdapat indikasi penyimpangan, kami siap mendorong audit investigatif kepada BPK, Inspektorat, hingga aparat penegak hukum. Tidak boleh ada ruang gelap dalam pengelolaan uang rakyat,” tegasnya.
JCW turut mengingatkan DPRD Sidoarjo untuk tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika ini. Sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan dan penganggaran, dewan wajib meminta penjelasan terbuka serta mendalami seluruh perubahan struktur anggaran.
“DPRD tidak boleh sekadar menyetujui. Mereka harus kritis. Jangan biarkan APBD hanya dilewatkan lewat ketok palu tanpa evaluasi mendalam,” tekan Sigit.
Hingga kini satu pertanyaan utama masih belum terjawab jelas oleh pemerintah daerah dan menjadi sorotan publik: “Ke mana hilangnya Rp200 miliar dalam struktur APBD Sidoarjo?”
Selama penjelasan resmi belum disampaikan, JCW menyatakan proses pengawasan akan terus berjalan. Kritik tidak akan berhenti, sorotan masyarakat tidak akan padam, dan ruang publik tidak akan diam terhadap potensi ketidaktransparanan pengelolaan anggaran daerah.
“APBD adalah uang rakyat, bukan uang pejabat. Setiap rupiah harus terang dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutup Ketua Umum JCW.
Reporter : Tim JWI
Editor : Redaksi JWI






















